PERKEBUNAN
ABAIKAN PASAL 33 UUD 1945
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas individu dalam
Mata
Kuliah Pancasila
Dosen
Pembimbing : Muhammad Alfian Sh. M.hum
Di susun oleh:
Endah
Ayunda Sari (122150030)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2012
PENDAHULUAN
I. LATAR
BELAKANG
Perkebunan yang ada di
Indonesia merupakan salah satu aset besar yang dimiliki oleh Negara. Dalam
mengolah, mendistribusi dan memanfaatkan
hasil perkebunan pun perlu di atur oleh undang-undang yang dapat menata hal-hal
tersebut, agar tidak terjadi kesalahan, diskriminasi dan pemanfaatan yang di
anggap illegal didalamnya. Oleh karena itu dirancang atau dibuatlah suatu
rancangan perundang-undangan yang mengatur hal-hal tentang kekayaan alam yang
ada di Indonesia. Seperti pasal 33 UUD 45 yang mengatur tentang perekonomian,
produksi dan yang menyangkut dengan kekayaan alam.
II. RUMUSAN
MASALAH
Permasalahan yang akan penulis bahasa dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengapa undang-undang
perkebunan di Indonesia mengabaikan pasal 33 UUD 45?
2. Berapa persen Negara
asing menguasai perkebunan Indonesia?
3. Mengapa terjadi konflik
di atas tanah perkebunan?
III.TUJUN
1. Agar pembaca mampu
mengetahui seperti apa undang-undang perkebunan di Indonesia mengabaikan pasal
33 UUD 45.
2. Mengetahui berapa persen
asing menguasai perkebunan Indonesia
3. Mengetahui konflik dan
ketegangan yang selama ini ada di perkebunan Indonesia.
DAFTAR
ISI
PENDAHULUAN………………………………………………… I
PEMBAHASAN…………………………………………………… 1
1. UU
Perkebunan Abaikan Pasal 33…………………………. 1
2. Asing
Mendominasi Perkebunan Indonesia……………….. 4
3. Konflik
Perkebunan dengan Lingkungan Sekitar………….. 8
KESIMPULAN……………………………………………………. 10
DAFTAR PUSTAKA
PEMBAHASAN
1. UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN ABAIKAN
PASAL 33 UUD 1945
Pasal 21 dan 47 Undang ‐Undang (UU) Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dinilai telah mengabaikan UUD 1945.
"Secara
ideologis filsafati keduanya sama‐sama mengacu pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Tetapi secara
yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan norma," ujar ahli hukum
agraria Universitas Brawijaya (Unibraw) Suhariningsih dalam sidang pengujian undang‐undang yang dipimpin oleh Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki, Jakarta, Selasa (10/5).
Ahli yang
dihadirkan oleh pemohon itu menyatakan penghapusan norma itu tidak secara
langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi mengilangkan hak‐hak warga negara.
Menurut
Suhariningsih, konflik pertanahan yang sering terjadi antara pemerintah maupun
badan hukum swasta dengan petani di sekitar perkebunan seringkali tidak
berpihak pada rakyat kecil. Negara, katanya, tidak boleh mengorbankan rakyatnya
demi kepentingan pihak investor.
"UU
Perkebunan secara substansi dan normatif telah tidak berkesesuaian dengan cita‐cita Negara hukum Indonesia untuk
mensejahterakan rakyatnya," kata Suhariningsih.
Suhariningsih
pun mengutip pendapat Prof Achmad Sodiki dalam sebuah seminar nasional, sepuluh
tahun lalu. Dalam seminar itu, kata Suhariningsih, Sodiki menyebut ketika
negara tidak mampu meningkatkan perekonomian dan selanjutnya bergandengan
tangan dengan para pemodal asing maka telah terjadi perubahan substantif.
"Menurut
saya materi muatan dalam pasal‐pasal itu tidak mengandung asas pengayoman terhadap rakyat miskin.
Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat hukum adat justru tersingkir dari akses
tanah sebagai sumber kehidupan mereka karena hadirnya investor," tukas Suhariningsih.
Hal senada
disampaikan oleh pakar antropologi Prof I Nyoman Nurjaya. Guru Besar Fakultas Hukum
Unibraw itu mengatakan Pasal 21 UU 18/2004 itu sebagai pasal mengada‐ada,
karena di KUHAP juga telah mengatur soal pidana.
"Redaksi
pasal ini sudah ada di KUHAP. Jadi tak perlu lagi diatur (dalam UU
18/2004)," ujarnya.
Pasal 21 UU
tersebut mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena
tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Sementara, Pasal 47 tidak
bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun
yang melanggar unsur‐unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya
dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya.
Permohonan
pengujian undang‐undang ini diajukan oleh empat petani dari tiga daerah. Mereka
adalah Sakri (Blitar, Jatim), Ngatimin alias Keling (Serdang Begadai, Sumut),
serta Vitalis Andi dan Japin (Ketapang, Kalbar).
Bersama
kuasa hukum mereka, Wahyu Wagiman dan Andi Muttaqien, serta pihak terkait dari
LSM. Sawit Watch, mereka meminta MK agar membatalkan Pasal 21 juncto Pasal 47
ayat 1 dan 2 UU 18/2004.
Wahyu, usai
sidang, menjelaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga mencerminkan adanya pembedaan
kedudukan, ketidakadilan, serta ketidakpastian hukum yang merugikan petani. UU tersebut,
ujarnya, harus mampu melindungi hak‐hak masyarakat adat dan penduduk lokal.
"Sebab
dengan adanya ketentuan tersebut maka tindakan untuk memperjuangkan hak petani dapat
dianggap mengganggu jalannya usaha perkebunan," kata Wahyu.
Ia
menuturkan sampai pertengahan 2010, sedikitnya terjadi 106 kasus kriminalisasi
petani akibat bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Wahyudi pun menerangkan
bahwa Ngatimin telah terlibat dalam konflik lahan itu sejak tahun 1968, saat ia
masih bersama orang tuanya.
"Kalau
tidak direview akan menimbulkan banyak konflik agraria. Seolah‐olah konflik
dipelihara," tukas Wahyu.
Pada sidang
sebelumnya, 20 April 2011, pemerintah menyatakan tujuan UU perkebunan adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, penerimaan negara, produktivitas, nilai tambah dan daya
saing. Sedangkan pada pasal yang diuji materi, ahli dari pemerintah Achyar
Salmi menyatakan ketentuan pidana dalam pasal itu telah sesuai dengan asas
legalitas.
2.
NEGARA ASING MENDOMINASI PERKEBUNAN INDONESIA
Mata kita terbelalak kala membaca data tentang penguasaan lahan
sawit oleh perusahaan asing. Bahwa sekitar 50% atau 4 juta ha lahan sawit
Indonesia di Sumatera dan Kalimantan dikuasai asing. Dari jumlah itu, sekitar
30% atau 3 juta ha dimiliki perusahaan Malaysia dan 20% nya di kuasai oleh Singapura, AS, dan Belgia.
kenapa semuanya ini bisa terjadi di negeri yang pemerintahnya
selalu mengumandangkan tagline: pro-growth, pro-job, pro-poor, and
pro-environment. Ke depan, ekspansi asing di lahan sawit bukan hanya dibatasi,
melainkan harus dikurangi.
Indonesia mempunyai lahan sawit terluas di dunia tetapi dinilai tidak
memiliki kedaulatan di sector kelapa sawit. Krisis kedaulatan pangan ini
melengkapi beragam kebijakan sebelumnya seperti kebijakan alih fungsi lahan
kepada sektor tambang dan industri sehingga mengakibatkan sebanyak tiga juta
hektar lahan pertanian beralih fungsi.
"Bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,25
hektare per kepala keluarga," ungkap Manajer Kampanye Air dan Pangan
Eksekutif Nasional Walhi, M Islah.
Hal ini bersangkutan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang
mengatakan bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi
adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Mengacu pada pasal 33 UUD 1945, bisnis kelapa sawit ini jelas
merupakan aset nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perlu
dilakukan pengambilalihan aset tersebut dari tangan para konglomerat untuk
diabdikan bagi kepentingan nasional dan rakyat banyak, tapi tidak dengan
menjualnya ke pihak Malaysia. Sangat mendesak saat ini untuk mengambil langkah
efektif untuk segeramencegah dan membatalkan proses penjualan aset perkebunan
kelapa sawit oleh BBPN ke pihak Malaysia.
Sangatlah ironis bahwa semangat
reformasi yang bersifat anti-monopoli dinodai dengan keputusan politik
pemerintah (BPPN) yang justru memberikan
kontribusi terjadinya monopoli internasional (Malaysia) terhadap
Negara Indonesia.
Dengan harapan manuver
bisnis-politik tersebut dapat diatasi oleh BPPN dan Tim Ekonomi Kabinet maka
Uni Sosial Demokrat telah mengirim surat tertutup kepada Wakil Presiden
Megawati Soekarnoputri tertanggal 2 Oktober 2000 jauh sebelum keputusan
tersebut diambil.
Sangat
ironis pula jika asing dibiarkan
menguasai lahan sawit Indonesia dalam luas yang sangat besar, sementara pada
saat yang sama para petani negeri ini rata-rata hanya memiliki lahan palawija
0,5 ha per orang. Bila dibiarkan, cepat atau lama, gejolak sosial akan terjadi.
Para petani akan bangkit melawan. Apa pun yang terjadi, mereka akan hadapi.
Karena tanah atau lahan menyangkut ‘to be or not to be’ bagi petani.
Cukup sudah asing dibiarkan memiliki perkebunan sawit. Penjualan aset negara ala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tidak boleh terulang kembali. Kepemilikan terbesar lahan sawit oleh asing terjadi saat BPPN menjual eks kebun sawit milik Salim ke perusahaan Malaysia.
Selain itu ada juga perusahaan kecil lokal yang terpaksa dilego ke asing akibat minimnya pendanaan. Ketelanjuran ini tidak boleh terjadi lagi. Asing tak semestinya meguasai lahan sawit, barang satu hektare pun. Tanah rakyat harus tetap milik negara. Tanah negara pun tidak sepatutnya diserahkan kepada asing. Jika tidak diberikan kepada rakyat, tanah negara untuk perkebunan hanya boleh disewakan kepada swasta nasional.
Setidaknya, ada tiga pertimbangan utama mengapa sektor hulu sawit dan komoditas perkebunan lainnya tidak boleh jatuh ke asing. Pertama, pandangan bahwa Indonesia memiliki tanah sangat luas tidak lagi benar. Sebagian lahan adalah hutan lindung yang tidak bisa diganggu gugat untuk keperluan lain. Wilayah hutan yang sudah gundul justru harus kembali ditambal.
Sekitar 70% wilayah RI adalah laut. Dalam pada itu, penduduk Indonesia sudah menembus 240 juta dan sebagian besar hidup di sektor pertanian dan luas lahan palawija setiap petani rata-rata hanya 0,5 ha. Masalah tanah di Indonesia adalah impending disaster atau bahaya laten yang bisa muncul kapan saja tergantung faktor pemicu.
Kasus perebutan lahan sawit di Mesuji, Lampung, adalah satu dari sekian ribu kasus yang tidak sempat mencuat sebagai berita utama media nasional. Kasus pendudukan lahan perkebunan yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) acap terjadi. Meski selalu kalah melawan kekuatan modal — yang bisa membayar aparat bersenjata—, petani akan selalu berusaha untuk memiliki kembali lahan PTPN yang sudah habis masa sewa (HGU).
Kedua, pengelolaan sawit dan komoditas perkebunan lainnya mesti sesuai konsep inti-plasma. Pemodal sebagai inti tidak perlu memiliki lahan luas. Yang boleh memiliki lahan luas adalah petani setempat, yang sejak zaman leluhurnya, memiliki lahan itu. Sangat tidak adil bila mereka tergusur dari tanah ulayat.
Sangat ironis jika para petani setempat harus terlempar dari tanah leluhurnya. Tanah yang oleh para leluhurnya ditebus dengan darah dan air mata. Sudah banyak konsep inti-plasma yang dilanggar para pengusaha, termasuk pengusaha lokal. Lahan terbesar dari perkebunan sawit saat ini bukanlah milik petani setempat, melainkan milik korporasi. Jika benar konsep ‘Sustainable growth with equity’ yang dicanangkan Presiden dilaksanakan dengan konsisten, mestinya lahan yang luas adalah milik petani setempat.
Dengan bantuan bibit unggul, manajemen, teknologi, dan pendampingan dari korporasi, para petani dibimbing untuk menanam, membesarkan, dan merawat sawitnya. Jika benar ada keadilan dan pemerataan yang hendak diupayakan, petani setempat harus diberikan kesempatan, dan itu hanya mungkin oleh perusahaan lokal.
Ketiga,
dengan kapital yang besar dan penguasaan teknologi tinggi, investor asing perlu
didorong membangun industri hilir. Tempat mereka bukan di industri hulu yang
berhimpitan langsung dengan kepentingan para petani, melainkan di hilir dengan
membangun berbagai jenis industri pengolahan sawit. Selama ini, pengolahan
sawit hanya sebatas crude palm oil (CPO). Di negara tujuan ekspor, CPO diolah
menjadi produk pangan, farmasi, dan kecantikan.
Pada masa akan datang, CPO menjadi bahan baku energi terbarukan yang ramah lingkungan. Pemerintah sudah mencanangkan program hilirisasi produk pertambangan dan perkebunan dengan tujuan meningkatkan nilai tambah produk nasional dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah ingin segera mengakhiri era ekspor produk primer. Indonesia tidak boleh lagi hanya mengandalkan eksportir produk primer karena nilai tambah sangat rendah.
Setelah diolah, nilai sawit meningkat berkali-kali lipat. Meski tenaga kerja yang terserap tidak sebesar perkebunan sawit, secara kumulatif tenaga kerja di hilir sawit akan cukup signifikan bila berbagai produk turunan dari sawit diproses di Indonesia. Melihat kebutuhan akan berbagai produk dengan bahan baku sawit yang begitu besar, kita yakin, pemodal asing akan tertarik masuk industri hilir sawit.
Jika ada keseriusan mendorong hilirisasi sawit dan berbagai produk perkebunan, pemerintah perlu segera menerbitkan payung hukum. Para pemodal kini sedang menunggu aturan main agar kiprah mereka berada di dalam koridor hukum.
3.
KONFLIK
PERKEBUNAN DENGAN LINGKUNGAN SEKITAR
Tahun 2007
konflik yang terjadi di perkebunan mencapai 475 kasus dan hanya 123 kasus yang
terselesaikan. Kemudian pada 2011 konflik tersebut naik jadi 822 kasus,dan yang
dapat diselesaikan justru menurun yakni 49 kasus.
Konflik
tersebut tidak hanya antara perusahaan perkebunan dan masyarakat, tetapi juga
dengan perusahaan di sektor lain seperti pertambangan dan kehutanan maupun
pemerintah. Kedepan konflik yang melibatkan perusahaan perkebunan tersebut
diperkirakan semakin meningkat karena luas lahan yang semakin menurun.
Menyinggung
pihak yang bersalah dalam konflik perkebunan tersebut, mantan Dirjen Perkebunan
itu mengungkapan, baik pemerintah, perusahaan perkebunan, perusahaan
pertambangan, perusahaan kehutanan, masyarakat, petani, maupun LSM memiliki
andil dalam memicu terjadinya konflik.
Kebijakan
pemerintah yang dinilai memicu konflik perkebunan, menurut Mangga Barani, yakni
pemberian izin yang tumpang-tindih, baik usaha perkebunan dengan perkebunan,
usaha perkebunan dengan pertambangan, maupun dengan kehutanan.
Kemudian
peraturan daerah yang berbeda-beda antara provinsi dengan kabupaten,
perpanjangan hak guna usaha (HGU) yang terlalu lama serta pengawasan yang
kurang.
“Kalau
pemerintah tidak melakukan perubahan dan perbaikan, akan konflik terus. Pada
1980-an tidak ada konflik perkebunan karena lahan masih luas,” katanya.
Sementara
itu, andil perusahaan perkebunan atas terjadinya konflik, antara lain karena
tak ada sosialisasi pada masyarakat ketika membuka lahan, tak mengindahkan
nilai sosial dan budaya setempat, penyelesaian ganti rugi yang tak tuntas,
tidak transparan, tidak melaksanakan kemitraan dan CSR.
Masyarakat,
petani, dan LSM juga turut andil dalam terjadinya konflik pada umumnya karena
melakukan okupasi terhadap lahan perusahaan yang punya status HGU,
pemindahtanganan kebun plasma, menuntut pengembalian tanah yang telah diberikan
ganti rugi, serta adanya provokasi.
Oleh karena
itu, dia mengharapkan untuk mengurangi terjadinya konflik perkebunan maka perlu
adanya transparansi antara perusahaan dengan masyarakat. Upaya mengatasi
konflik antara perusahaan perkebunan dan perusahaan perkebunan maka perlu
musyawarah. (faisal)
KESIMPULAN
1. Pasal
21 UU perkebunan mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa
izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Sementara, Pasal 47
tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis
siapapun yang melanggar unsur‐unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat
dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya.
Secara
ideologis filsafati keduanya sama‐sama mengacu pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Tetapi secara yuridis
telah terjadi penghapusan keterkaitan norma
Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki, Jakarta, Selasa (10/5). norma itu tidak
secara langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi mengilangkan hak‐hak warga negara.
2.
Sekitar 50% atau 4 juta ha lahan sawit Indonesia di Sumatera dan
Kalimantan dikuasai asing. Dari jumlah itu, sekitar 30% atau 3 juta ha dimiliki
perusahaan Malaysia dan 20% nya di kuasai oleh Singapura, AS, dan Belgia. Bahkan kini
di Jawa rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,25 hektare per kepala keluarga.
Mengacu
pada pasal 33 UUD 1945, bisnis kelapa sawit ini jelas merupakan aset nasional
yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perlu dilakukan
pengambilalihan aset tersebut dari tangan para konglomerat untuk diabdikan bagi
kepentingan nasional dan rakyat banyak, tapi tidak dengan menjualnya ke
pihak Malaysia.
3. Tahun 2007 konflik yang terjadi di perkebunan mencapai 475 kasus
dan hanya 123 kasus yang terselesaikan. Kemudian pada 2011 konflik tersebut
naik jadi 822 kasus,dan yang dapat diselesaikan justru menurun yakni 49 kasus.
Kebijakan pemerintah yang dinilai memicu konflik
perkebunan, menurut Mangga Barani, yakni pemberian izin yang tumpang-tindih,
baik usaha perkebunan dengan perkebunan, usaha perkebunan dengan pertambangan,
maupun dengan kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/11/225108/284/1/‐UU‐Perkebunan‐
Abaikan‐Pasal‐33‐UUD‐1945
diunduh pada 5
november 2012 pukul 10:00
diunduh pada 14 November 2012 pukul 18:34
diunduh pada 5
November 2012 pukul 10:15
jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2012/06/24/draft-rencana-uu-pertahanan/
di unduh pada 5 November 2012 pukul 09:44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar