jam

Senin, 11 Maret 2013

PENGERTIAN, FAKTOR-FAKTOR PENDIDIKAN dan HUBUNGAN TIMBAL BALIK


PENGERTIAN, FAKTOR-FAKTOR PENDIDIKAN dan HUBUNGAN TIMBAL BALIK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu dalam
Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan
Dosen Pembimbing : Nur Hidayati M.Pd.











Di susun oleh :
Endah Ayunda Sari          (122150030)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2012

DAFTAR ISI


PENDAHULUAN…………………………………………………………   I
PEMBAHASAN…………………………………………………………..   1
A.    Pengertian faktor-faktor pendidikan………………………………   1
B.    Macam-macam factor pendidikan………………………………...  2
C.    Hubungan timbale balik…………………………………….……    9
DAFTAR PUSTAKA




I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilitas segenap komponen

Sabtu, 09 Maret 2013

MAKALAH PANCASILA PASAL 33 UUD45


PERKEBUNAN ABAIKAN PASAL 33 UUD 1945

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu dalam
Mata Kuliah Pancasila
Dosen Pembimbing : Muhammad Alfian Sh. M.hum









Di susun oleh:
Endah Ayunda Sari                 (122150030)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2012

PENDAHULUAN

I.     LATAR BELAKANG
Perkebunan yang ada di Indonesia merupakan salah satu aset besar yang dimiliki oleh Negara. Dalam mengolah, mendistribusi  dan memanfaatkan hasil perkebunan pun perlu di atur oleh undang-undang yang dapat menata hal-hal tersebut, agar tidak terjadi kesalahan, diskriminasi dan pemanfaatan yang di anggap illegal didalamnya. Oleh karena itu dirancang atau dibuatlah suatu rancangan perundang-undangan yang mengatur hal-hal tentang kekayaan alam yang ada di Indonesia. Seperti pasal 33 UUD 45 yang mengatur tentang perekonomian, produksi dan yang menyangkut dengan kekayaan alam.

II.  RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan penulis bahasa dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Mengapa undang-undang perkebunan di Indonesia mengabaikan pasal 33 UUD 45?
2.     Berapa persen Negara asing menguasai perkebunan Indonesia?
3.     Mengapa terjadi konflik di atas tanah perkebunan?

III.TUJUN

1.     Agar pembaca mampu mengetahui seperti apa undang-undang perkebunan di Indonesia mengabaikan pasal 33 UUD 45.
2.     Mengetahui berapa persen asing menguasai perkebunan Indonesia
3.     Mengetahui konflik dan ketegangan yang selama ini ada di perkebunan Indonesia.
DAFTAR ISI


PENDAHULUAN…………………………………………………               I
PEMBAHASAN……………………………………………………             1
1.     UU Perkebunan Abaikan Pasal 33………………………….                        1
2.     Asing Mendominasi Perkebunan Indonesia………………..            4
3.     Konflik Perkebunan dengan Lingkungan Sekitar…………..                        8

KESIMPULAN…………………………………………………….              10
DAFTAR PUSTAKA




PEMBAHASAN

1.       UNDANG-UNDANG PERKEBUNAN ABAIKAN PASAL 33 UUD 1945
Pasal 21 dan 47 Undang Undang (UU) Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dinilai telah mengabaikan UUD 1945.

"Secara ideologis filsafati keduanya samasama mengacu pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Tetapi secara yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan norma," ujar ahli hukum agraria Universitas Brawijaya (Unibraw) Suhariningsih dalam sidang pengujian undangundang yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki, Jakarta, Selasa (10/5).

Ahli yang dihadirkan oleh pemohon itu menyatakan penghapusan norma itu tidak secara langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi mengilangkan hakhak warga negara.

Menurut Suhariningsih, konflik pertanahan yang sering terjadi antara pemerintah maupun badan hukum swasta dengan petani di sekitar perkebunan seringkali tidak berpihak pada rakyat kecil. Negara, katanya, tidak boleh mengorbankan rakyatnya demi kepentingan pihak investor.

"UU Perkebunan secara substansi dan normatif telah tidak berkesesuaian dengan citacita Negara hukum Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya," kata Suhariningsih.

Suhariningsih pun mengutip pendapat Prof Achmad Sodiki dalam sebuah seminar nasional, sepuluh tahun lalu. Dalam seminar itu, kata Suhariningsih, Sodiki menyebut ketika negara tidak mampu meningkatkan perekonomian dan selanjutnya bergandengan tangan dengan para pemodal asing maka telah terjadi perubahan substantif.

"Menurut saya materi muatan dalam pasalpasal itu tidak mengandung asas pengayoman terhadap rakyat miskin. Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat hukum adat justru tersingkir dari akses tanah sebagai sumber kehidupan mereka karena hadirnya investor," tukas Suhariningsih.

Hal senada disampaikan oleh pakar antropologi Prof I Nyoman Nurjaya. Guru Besar Fakultas Hukum Unibraw itu mengatakan Pasal 21 UU 18/2004 itu sebagai pasal mengada‐ada, karena di KUHAP juga telah mengatur soal pidana.
"Redaksi pasal ini sudah ada di KUHAP. Jadi tak perlu lagi diatur (dalam UU 18/2004)," ujarnya.

Pasal 21 UU tersebut mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Sementara, Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsur‐unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya.

Permohonan pengujian undang‐undang ini diajukan oleh empat petani dari tiga daerah. Mereka adalah Sakri (Blitar, Jatim), Ngatimin alias Keling (Serdang Begadai, Sumut), serta Vitalis Andi dan Japin (Ketapang, Kalbar).

Bersama kuasa hukum mereka, Wahyu Wagiman dan Andi Muttaqien, serta pihak terkait dari LSM. Sawit Watch, mereka meminta MK agar membatalkan Pasal 21 juncto Pasal 47 ayat 1 dan 2 UU 18/2004.
Wahyu, usai sidang, menjelaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga mencerminkan adanya pembedaan kedudukan, ketidakadilan, serta ketidakpastian hukum yang merugikan petani. UU tersebut, ujarnya, harus mampu melindungi hak‐hak masyarakat adat dan penduduk lokal.

"Sebab dengan adanya ketentuan tersebut maka tindakan untuk memperjuangkan hak petani dapat dianggap mengganggu jalannya usaha perkebunan," kata Wahyu.
Ia menuturkan sampai pertengahan 2010, sedikitnya terjadi 106 kasus kriminalisasi petani akibat bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Wahyudi pun menerangkan bahwa Ngatimin telah terlibat dalam konflik lahan itu sejak tahun 1968, saat ia masih bersama orang tuanya.

"Kalau tidak direview akan menimbulkan banyak konflik agraria. Seolah‐olah konflik dipelihara," tukas Wahyu.

Pada sidang sebelumnya, 20 April 2011, pemerintah menyatakan tujuan UU perkebunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penerimaan negara, produktivitas, nilai tambah dan daya saing. Sedangkan pada pasal yang diuji materi, ahli dari pemerintah Achyar Salmi menyatakan ketentuan pidana dalam pasal itu telah sesuai dengan asas legalitas.

2.       NEGARA ASING MENDOMINASI PERKEBUNAN INDONESIA
Mata kita terbelalak kala membaca data tentang penguasaan lahan sawit oleh perusahaan asing. Bahwa sekitar 50% atau 4 juta ha lahan sawit Indonesia di Sumatera dan Kalimantan dikuasai asing. Dari jumlah itu, sekitar 30% atau 3 juta ha dimiliki perusahaan Malaysia dan 20% nya di kuasai oleh Singapura, AS, dan Belgia.
kenapa semuanya ini bisa terjadi di negeri yang pemerintahnya selalu mengumandangkan tagline: pro-growth, pro-job, pro-poor, and pro-environment. Ke depan, ekspansi asing di lahan sawit bukan hanya dibatasi, melainkan harus dikurangi. 
Indonesia mempunyai lahan sawit terluas di dunia tetapi dinilai tidak memiliki kedaulatan di sector kelapa sawit. Krisis kedaulatan pangan ini melengkapi beragam kebijakan sebelumnya seperti kebijakan alih fungsi lahan kepada sektor tambang dan industri sehingga mengakibatkan sebanyak tiga juta hektar lahan pertanian beralih fungsi.
"Bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,25 hektare per kepala keluarga," ungkap Manajer Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional Walhi, M Islah.
Hal ini bersangkutan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang mengatakan bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Mengacu pada pasal 33 UUD 1945, bisnis kelapa sawit ini jelas merupakan aset nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perlu dilakukan pengambilalihan aset tersebut dari tangan para konglomerat untuk diabdikan bagi kepentingan nasional dan rakyat banyak, tapi tidak dengan menjualnya ke pihak Malaysia. Sangat mendesak saat ini untuk mengambil langkah efektif untuk segeramencegah dan membatalkan proses penjualan aset perkebunan kelapa sawit oleh BBPN ke pihak Malaysia.
Sangatlah ironis bahwa semangat reformasi yang bersifat anti-monopoli dinodai dengan keputusan politik pemerintah (BPPN) yang justru memberikan kontribusi terjadinya monopoli internasional (Malaysia) terhadap Negara Indonesia.
Dengan harapan manuver bisnis-politik tersebut dapat diatasi oleh BPPN dan Tim Ekonomi Kabinet maka Uni Sosial Demokrat telah mengirim surat tertutup kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri tertanggal 2 Oktober 2000 jauh sebelum keputusan tersebut diambil.
Sangat ironis pula  jika asing dibiarkan menguasai lahan sawit Indonesia dalam luas yang sangat besar, sementara pada saat yang sama para petani negeri ini rata-rata hanya memiliki lahan palawija 0,5 ha per orang. Bila dibiarkan, cepat atau lama, gejolak sosial akan terjadi. Para petani akan bangkit melawan. Apa pun yang terjadi, mereka akan hadapi. Karena tanah atau lahan menyangkut ‘to be or not to be’ bagi petani.

Cukup sudah asing dibiarkan memiliki perkebunan sawit. Penjualan aset negara ala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tidak boleh terulang kembali. Kepemilikan terbesar lahan sawit oleh asing terjadi saat BPPN menjual eks kebun sawit milik Salim ke perusahaan Malaysia. 

Selain itu ada juga perusahaan kecil lokal yang terpaksa dilego ke asing akibat minimnya pendanaan. Ketelanjuran ini tidak boleh terjadi lagi. Asing tak semestinya meguasai lahan sawit, barang satu hektare pun. Tanah rakyat harus tetap milik negara. Tanah negara pun tidak sepatutnya diserahkan kepada asing. Jika tidak diberikan kepada rakyat, tanah negara untuk perkebunan hanya boleh disewakan kepada swasta nasional.

Setidaknya, ada tiga pertimbangan utama mengapa sektor hulu sawit dan komoditas perkebunan lainnya tidak boleh jatuh ke asing. Pertama, pandangan bahwa Indonesia memiliki tanah sangat luas tidak lagi benar. Sebagian lahan adalah hutan lindung yang tidak bisa diganggu gugat untuk keperluan lain. Wilayah hutan yang sudah gundul justru harus kembali ditambal. 

Sekitar 70% wilayah RI adalah laut. Dalam pada itu, penduduk Indonesia sudah menembus 240 juta dan sebagian besar hidup di sektor pertanian dan luas lahan palawija setiap petani rata-rata hanya 0,5 ha. Masalah tanah di Indonesia adalah impending disaster atau bahaya laten yang bisa muncul kapan saja tergantung faktor pemicu. 

Kasus perebutan lahan sawit di Mesuji, Lampung, adalah satu dari sekian ribu kasus yang tidak sempat mencuat sebagai berita utama media nasional. Kasus pendudukan lahan perkebunan yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) acap terjadi. Meski selalu kalah melawan kekuatan modal — yang bisa membayar aparat bersenjata—, petani akan selalu berusaha untuk memiliki kembali lahan PTPN yang sudah habis masa sewa (HGU).

Kedua, pengelolaan sawit dan komoditas perkebunan lainnya mesti sesuai konsep inti-plasma. Pemodal sebagai inti tidak perlu memiliki lahan luas. Yang boleh memiliki lahan luas adalah petani setempat, yang sejak zaman leluhurnya, memiliki lahan itu. Sangat tidak adil bila mereka tergusur dari tanah ulayat. 

Sangat ironis jika para petani setempat harus terlempar dari tanah leluhurnya. Tanah yang oleh para leluhurnya ditebus dengan darah dan air mata. Sudah banyak konsep inti-plasma yang dilanggar para pengusaha, termasuk pengusaha lokal. Lahan terbesar dari perkebunan sawit saat ini bukanlah milik petani setempat, melainkan milik korporasi. Jika benar konsep ‘Sustainable growth with equity’ yang dicanangkan Presiden dilaksanakan dengan konsisten, mestinya lahan yang luas adalah milik petani setempat. 

Dengan bantuan bibit unggul, manajemen, teknologi, dan pendampingan dari korporasi, para petani dibimbing untuk menanam, membesarkan, dan merawat sawitnya. Jika benar ada keadilan dan pemerataan yang hendak diupayakan, petani setempat harus diberikan kesempatan, dan itu hanya mungkin oleh perusahaan lokal.
Ketiga, dengan kapital yang besar dan penguasaan teknologi tinggi, investor asing perlu didorong membangun industri hilir. Tempat mereka bukan di industri hulu yang berhimpitan langsung dengan kepentingan para petani, melainkan di hilir dengan membangun berbagai jenis industri pengolahan sawit. Selama ini, pengolahan sawit hanya sebatas crude palm oil (CPO). Di negara tujuan ekspor, CPO diolah menjadi produk pangan, farmasi, dan kecantikan. 

Pada masa akan datang, CPO menjadi bahan baku energi terbarukan yang ramah lingkungan. Pemerintah sudah mencanangkan program hilirisasi produk pertambangan dan perkebunan dengan tujuan meningkatkan nilai tambah produk nasional dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah ingin segera mengakhiri era ekspor produk primer. Indonesia tidak boleh lagi hanya mengandalkan eksportir produk primer karena nilai tambah sangat rendah.

Setelah diolah, nilai sawit meningkat berkali-kali lipat. Meski tenaga kerja yang terserap tidak sebesar perkebunan sawit, secara kumulatif tenaga kerja di hilir sawit akan cukup signifikan bila berbagai produk turunan dari sawit diproses di Indonesia. Melihat kebutuhan akan berbagai produk dengan bahan baku sawit yang begitu besar, kita yakin, pemodal asing akan tertarik masuk industri hilir sawit. 

Jika ada keseriusan mendorong hilirisasi sawit dan berbagai produk perkebunan, pemerintah perlu segera menerbitkan payung hukum. Para pemodal kini sedang menunggu aturan main agar kiprah mereka berada di dalam koridor hukum.





3.       KONFLIK PERKEBUNAN DENGAN LINGKUNGAN SEKITAR
Tahun 2007 konflik yang terjadi di perkebunan mencapai 475 kasus dan hanya 123 kasus yang terselesaikan. Kemudian pada 2011 konflik tersebut naik jadi 822 kasus,dan yang dapat diselesaikan justru menurun yakni 49 kasus.
Konflik tersebut tidak hanya antara perusahaan perkebunan dan masyarakat, tetapi juga dengan perusahaan di sektor lain seperti pertambangan dan kehutanan maupun pemerintah. Kedepan konflik yang melibatkan perusahaan perkebunan tersebut diperkirakan semakin meningkat karena luas lahan yang semakin menurun.
Menyinggung pihak yang bersalah dalam konflik perkebunan tersebut, mantan Dirjen Perkebunan itu mengungkapan, baik pemerintah, perusahaan perkebunan, perusahaan pertambangan, perusahaan kehutanan, masyarakat, petani, maupun LSM memiliki andil dalam memicu terjadinya konflik.
Kebijakan pemerintah yang dinilai memicu konflik perkebunan, menurut Mangga Barani, yakni pemberian izin yang tumpang-tindih, baik usaha perkebunan dengan perkebunan, usaha perkebunan dengan pertambangan, maupun dengan kehutanan.
Kemudian peraturan daerah yang berbeda-beda antara provinsi dengan kabupaten, perpanjangan hak guna usaha (HGU) yang terlalu lama serta pengawasan yang kurang.

“Kalau pemerintah tidak melakukan perubahan dan perbaikan, akan konflik terus. Pada 1980-an tidak ada konflik perkebunan karena lahan masih luas,” katanya.
Sementara itu, andil perusahaan perkebunan atas terjadinya konflik, antara lain karena tak ada sosialisasi pada masyarakat ketika membuka lahan, tak mengindahkan nilai sosial dan budaya setempat, penyelesaian ganti rugi yang tak tuntas, tidak transparan, tidak melaksanakan kemitraan dan CSR.
Masyarakat, petani, dan LSM juga turut andil dalam terjadinya konflik pada umumnya karena melakukan okupasi terhadap lahan perusahaan yang punya status HGU, pemindahtanganan kebun plasma, menuntut pengembalian tanah yang telah diberikan ganti rugi, serta adanya provokasi.
Oleh karena itu, dia mengharapkan untuk mengurangi terjadinya konflik perkebunan maka perlu adanya transparansi antara perusahaan dengan masyarakat. Upaya mengatasi konflik antara perusahaan perkebunan dan perusahaan perkebunan maka perlu musyawarah. (faisal)



KESIMPULAN

1.       Pasal 21 UU perkebunan mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu  melanggar hak atas tanah orang lain. Sementara, Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsurunsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya.
Secara ideologis filsafati keduanya samasama mengacu pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Tetapi secara yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan norma
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki, Jakarta, Selasa (10/5). norma itu tidak secara langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi mengilangkan hakhak warga negara.

2.       Sekitar 50% atau 4 juta ha lahan sawit Indonesia di Sumatera dan Kalimantan dikuasai asing. Dari jumlah itu, sekitar 30% atau 3 juta ha dimiliki perusahaan Malaysia dan 20% nya di kuasai oleh Singapura, AS, dan Belgia. Bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,25 hektare per kepala keluarga.
Mengacu pada pasal 33 UUD 1945, bisnis kelapa sawit ini jelas merupakan aset nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perlu dilakukan pengambilalihan aset tersebut dari tangan para konglomerat untuk diabdikan bagi kepentingan nasional dan rakyat banyak, tapi tidak dengan menjualnya ke pihak Malaysia.

3.       Tahun 2007 konflik yang terjadi di perkebunan mencapai 475 kasus dan hanya 123 kasus yang terselesaikan. Kemudian pada 2011 konflik tersebut naik jadi 822 kasus,dan yang dapat diselesaikan justru menurun yakni 49 kasus.
Kebijakan pemerintah yang dinilai memicu konflik perkebunan, menurut Mangga Barani, yakni pemberian izin yang tumpang-tindih, baik usaha perkebunan dengan perkebunan, usaha perkebunan dengan pertambangan, maupun dengan kehutanan.







DAFTAR PUSTAKA

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/11/225108/284/1/UUPerkebunan
AbaikanPasal33UUD1945
diunduh pada 5 november 2012 pukul 10:00

diunduh pada 14 November 2012 pukul 18:34

diunduh pada 5 November 2012 pukul 10:15

jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2012/06/24/draft-rencana-uu-pertahanan/
di unduh pada 5 November 2012 pukul 09:44

MANFAAT DAN BAHAYA TERTAWA

Saat kita tertawa
Tertawa adalah hal yang menyenangkan, seseorang akan tertawa apabila melihat sesuatu yang dianggapnya lucu. Tapi tahu kan kalian tertawa juga memiliki dampak yang positif juga negatif. berikut ini adalah manfaat dan bahaya tertawa.

MANFAAT TERTAWA

Manusia tentu memerlukan dan merasa butuh untuk tertawa. Tanpa tertawa maka hidup seseorang dapat dikatakan hampa. Inilah beberapa manfaat tertawa yang mungkin memang kita butuhkan:

1.Sumber inspirasi
   Bagi sebagian orang tertawa merupakan sumber inspirasi dan semangat. Contohnya bagi pelajar, agar mendapat inspirasi saat menanamkan ilmu-ilmu terkadang mereka perlu me refresh otak dengan tertawa, agar belajar dapat lebih mudah diterima. begitu pula dengan pelawak.

2. Dapat menghilagkan setres
    Tertawa dapat menurunkan hormon pemicu stres lho. Dengan tertawa maka saraf-saraf yang ada pada tubuh tidak terlalu tegang.

3. Menumbuhkan Rasa Damai
    Tertawa dengan teman-teman atau anggota keluarga pasti sering ada lakukan. Pasti menyenangkan kan? saat kita tertawa berasama teman atau anggota keluarga lainnya pasti semua akan terasa damai. tertawa bersama juga dapat mengurangi perselisihan.

BAHAYA TERTAWA

1. Melupakan Dosa-dosa yang lalu
    Saat kita tertawa itu menandakan bahwa kita sedang senang dan bahagia. Saat kita tertawa apa kita ingat akan kesalahan-kesalahan yang pernah kita buat di masa lalu? tertawa berlebihan justru akan menambah dosa.

2. Menanggung Dosa Orang yang ditertawakan
    Apabila kita bertemu dengan seseorang yang kita anggap aneh atau lucu mungkin kita akan tertawa terbahak-bahak. Pernahkan berfikir saat kita menertawakan orang lain bagaimana perasaan orang yang kita tertawakan? tanpa sepengetahuan kita mungkin orang itu marah atau merasa tersinggung. apabila kita menertawakan keburukan orang lain maka kita akan menanggung dosa orang yang telah kita tertawakan.


sekian terima kasih :)